[.....]
Perang Bali
Nama Bali dikenal dalam sejarah Indonesia mulai zaman Erlangga maupun Majapahit (Gajah Mada) .
Hubungan antara Bali dan Jawa erat sekali. Pada zaman Majapahit banyak penduduk kerajaan ini yang pindah ke Bali.
Dengan bangga mereka menamakan dirinya wong Majapahit untuk membedakan diri dari penduduk Bali asli yang masih terdapat di pegunungan dan dikenal sebagai Bali-aga (orang Bali asli).
Pemerintahan di Bali, akhirnya mengangkat dirinya menjadi raja dengan gelar Dewa Agung Ketut dan bersemayam di Gelgel.
Pada abad ke-17 ibukota pindah ke Klungkung, tetapi kemudian pecah menjadi Sembilan kerajaan di antaranya yang terkenal adalah Klungkung, Gianyar, Badung, Karangasem, dan Buleleng.
Salah satu hak yang dimiliki oleh kerajaan-kerajaan di Bali di daerah pantai ialah hak untuk menjalankan hukum tawan karang.
Menurut hukum itu, raja Bali berhak untuk merampas muatan kapal yang terdampar di pantai wilayah kerajaannya.
Sewaktu Belanda berada di Indonesia, Bali masih merupakan kerajaan-kerajaan merdeka.
sebagaimana dikemukakan oleh Poesponegoro et al.(2010 :249), bahwa : “...di Bali berlakunya hukum tawan karang, yaitu hak dari Bali untuk merampas perahu perahu yang terdampardi pantai wilayah kekuasaannya. Hukum tawan karang ini telah menimpa kapal-kapal Belanda seperti yang dialami pada tahun 1841 di pantai wilayah Badung”.
Belanda juga melakukan perdagangan (terutama perdagangan budak) dengan kerajaan-kerajaan Bali.
Dalam perdagangannya itu, telah berulang kali kapal Belanda terdampar di salah satu pantai dari kerajaan Bali dan muatannya dirampas oleh raja.
Belanda telah mengajukan protes dan mengadakan perjanjian-perjanjian yang menyangkut pembebasan kapal-kapal Belanda. Tetapi raja-raja Bali sering tidak pernah mengindahkannya.
Di antara raja-raja Bali yang pernah diajak untuk mengadakan perjanjian pada tahun 1841 itu ialah raja-raja Klungkung, Buleleng, Badung dan Karangasem.
Dalam perjanjian itu sesungguhnya raja Bali telah dipaksa untuk mengakui kedaulatan pemerintah Belanda, dan
mengijinkan pengibaran bendera Belanda di kerajaannya.
Tetapi kesemuanya itu tidak dilaksanakan oleh raja-raja Bali karena mereka dipaksa. sebagaimana dikemukakan oleh Poesponegoro et al. (2010 :250), bahwa : ”...1843 raja-raja Buleleng, Karangasem, dan beberapa raja lainnya telah menandatangani perjanjian penghapusan tawan karang, ternyata mereka tidak pernah melaksanakannya dengan sungguh-sungguh”.
Karena merasa diingkari, maka Belanda memutuskan untuk menggunakan kekerasan dalam usaha untuk menundukkan raja-raja Bali tersebut.
Pada tahun 1846 Belanda mengirimkan ekspedisi militernya ke daerah Buleleng.
Karena itu Gusti Ketut Jelantik menyiapkan pasukan untuk menghadapi kedatangan Belanda. Sebelum melakukan serangan,
Belanda mengeluarkan ultimatum yang isinya agar Buleleng :
- mengakui kekuasaan Belanda,
- hak tawan karang harus dihapus,
- memberi perlindungan kepada perdagangan Belanda.
Karena ultimatum Belanda tak diindahkan, akhirnya Belanda menyerbu Buleleng.
Sementara itu Karangasem memihak Buleleng, sehingga berkobar perang Belanda-Bali.
Dalam mnghadapi perlawanan rakyat Bali, Belanda terpaksa mengerahkan ekspedisi secara besar-besaran sebanyak tiga kali.
Ekspedisi pertama dilakukan tahun 1836 dengan kekuatan 1700 tentara. Serangan pertama ini Belanda gagal menundukkan rakyat Bali. Belanda mengajak berunding, tetapi ternyata hanya taktik untuk melakukan penyerbuan kembali.
Sementara itu pasukan Bali di bawah Gusti Jelantik membangun benteng di Jagaraga dan mulai menyerang Belanda.
Karena serangan tersebut, Belanda lalu melakukan ekspedisi kedua tahun 1848. Pertempuran berkobar hebat di benteng tersebut. Dalam pertempuran itu Belanda kehilangan 5 perwiranya dan 75 prajuritnya.
Namun benteng Jagaraga gagal dikuasai. Setelah bala bantuan datang dari Jakarta, Belanda kembali menyerang.
Namun serangan ke benteng Jagaraga dapat ditangkis.
Pada tahun 1849 Belanda melakukan ekspedisi yang ketiga dengan kekuatan lebih dari empat ribu prajurit dengan tiga ribu pasukan tenaga pengangkut. Pasukan besar-besaran tersebut disambut dengan tiga ribu prajurit Bali dengan senjata tradisional.
Sedangkan pasukan tambahan ada 10-20 ribu orang dari Buleleng dan Karangasem.
Pertempuran meletus di sekitar benteng Jagaraga. Benteng tersebut dijaga sekitar 15 prajurit.
Pertempuran berlangsung beberapa hari sehingga kedua belah pihak mengalami kelelahan. Karena kalah dalam persenjataan, pasukan Bali mengundurkan diri dari benteng Jagaraga.
Dengan demikian benteng tersebut jatuh ke tangan Belanda. Sejak itu perlawanan pindah ke daerah Karangasem dan Klungkung dengan pimpinan Gusti Jelantik.
Perlawanan baru mengendor akhir abad ke-19, setelah sebagian besar kerajaan Bali ditaklukkan Belanda.
Pada tahun 1904 sebuah kapal dagang Cina terdampar di pantai timur Badung. Kapal tersebut dirampas oleh penduduk di situ. Cina lalu lapor kepada Belanda.
Kerajaan Badung dipersalahkan oleh Gubernemen dan disuruh membayar denda. Perintah itu ditolak oleh raja Badung. Sikap raja Badung itu didukung oleh raja-raja Bali, sehingga pecah perang Bali-Belanda.
Belanda berhasil merebut ibukota Denpasar. Akibatnya raja-raja Bali melakukan puputan yaitu melawan habishabisan dengan diikuti sanak-saudaranya, para bangsawan lainnya dan kaum putri, bersenjata tombak dan keris keramat.
Mereka memilih gugur di medan perang dari pada menyerah kepada Belanda. Pada tahun 1908 kerajaan Klungkung diserang Belanda. Raja Klungkung dibantu oleh seluruh kaum bangsawan, wanita dan anak-anak mengadakan puputan sewaktu diserang Belanda itu, lantaran tidak mau tunduk kepada peraturan-peraturan yang diadakan oleh pemerintah Belanda. Sesudah Klungkung diduduki maka berarti seluruh Bali dikuasai oleh pemerintah Belanda.
Perang Banjarmasin
Selain di Pulau Jawa dan Sumatra, pemerintahan colonial Belanda juga berupaya menguasai Pulau Kalimantan. Pada tahun 1817 Belanda mulai masuk ke wilayah Banjar, Kalimantan Selatan.
Bahkan, pada tahun 1826 Belanda mengadakan perjanjian dengan Sultan Adam, raja Kerajaan Banjar.
Isi perjanjian ini menyatakan bahwa seluruh wilayah Kalimantan Selatan adalah kekuasaan Belanda, kecuali Banjarmasin, Martapura, dan Hulu Sungai.
Ketika daerah ini berada di wilayah kekuasaan Sultan Adam dari kesultanan Banjar. Selain itu, Belanda berhak menentukan siapa yang akan menjadi sultan muda, putra mahkota, dan mangkubumi.
Ketika sultan Adam wafat pada tahun 1857 terjadilah perebutan kekuasaan di keratin. Belanda berdiri di belakang kekacauan ini mengangkat Pangeran Tamjid Illah sebagai sultan kerajaan Banjarmasin, sedangkan rakyat menghendaki Pangeran Hidayat.
Akhirnya, Pangeran Tamjid Illah III menjadi sultam, sedangkan Pangeran Hidayat menjadi mangkubuminya.
Kedua tokoh ini tidak bias bekerja sama. Akibatnya, timbul keresahan di kalangan rakyat dan kaum bangsawan Banjar.
Menyadari adanya keresahan ini, Belanda mengambil alih kekuasaan dari Pangeran Tamjid Illah . tindakan belanda ini menimbulkan kemarahan pada rakyat.
Selanjutnya, pada tahun 1859 rakyat banjar di bawah pimpinan Pangeran Antasari menyerang pertahanan Belanda di Martapura dan Pengaron.
Perlawanan lainnya dipimpin oleh kyai Demang Lehmanm Haji Nasrun, Haji Buyasin, kyai Langlang dan tumenggung Surapati, serta pangeran Hidayat.
Mereka berhasil merebut benteng Belanda, seperti Benteng Tabanio, bahkan menenggelamkan kapal Onrust di sungai Barito.
Untuk mengatur strategi baru, Belanda menawarkan untuk berunding dengan Pangeran Hidayat, tetapi ditolak.
Karena putus asa, sehingga Belanda menghapuskan kerajaan Banjar pada bulan Juni 1860.
Sejak itu, daerah tersebut daerah tersebut diperintah langsung oleh Belanda. Tekanan Belanda yang sangat kuat menyebabkan perlawanan di bawah pimpinan Pangeran Hidayat ini dapat dikalahkan karena kurang persenjataan.
Pada tahun 1862 Pangeran Hidayat ditangkap dan diasaingkan ke kota Cianjur, Jawa Barat. Namun demikian, perlawanan rakyat Banjar semakin gencar saja, apalagi setelah pangeran Antasari(1862), saudara sepupu pangeran Hidayat diangkat sebagai pemimpin tertinggi agama islam di Banjar dengan gelar Panembahan Amirudin Khalifatul Mukminin.
Beberapa saat kemudian, setelah ia diangkat menjadi sultan, perang meletus lagi. Dalam perang ini Pangeran Antasari menderita luka-luka dan akhirnya wafat pada tahun 1862. Perlawanan rakyat Banjar dilanjutkan oleh putra-putranya dan pejuang lainnya. Namun, sejak tahun 1864 ketika para pemimpin perlawanan Banjar berhasil ditangkap satu persatu, perlawanan rakyat Banjar mulai melemah. Akhirnya, Banjar sepenuhnyadapat dikuasai oleh Belanda.
No comments:
Post a Comment