[......]
Perang Diponegoro
Sejak Daendels berkuasa, maka wilayah kekuasaan raja-raja Jawa, terutama Yogyakarta dan Surakarta, makin dipersempit.
Hal ini disebabkan karena banyak daerah yang diberikan kepada Belanda sebagai imbalan atas bantuannya. Adapun daerah yang diinginkan Belanda adalah daerah Pantai Utara Jawa.
Karena itu daerah-daerah tersebut berangsur-angsur diambil-alih oleh Belanda.
Daerah Kerawang dan Semarang dikuasai oleh Belanda pada tahun 1677, dan pada tahun 1743 Daerah Cirebon, Rembang, Jepara, Surabaya, Pasuruan dan Madura.
Dengan hilangnya daerah-daerah pesisir, Kerajaan Mataram makin melepaskan kegiatan pelayaran dan perdagangannya, dan memusatkan kegiatannya pada bidang pertanian.
Di samping makin sempitnya wilayah kerajaan yang bias memperkecil kekuasaan raja, juga dapat menyebabkan kecilnya penghasilan kerajaan.
Raja makin lama makin tergantung kepada Belanda. Untuk membiayai pemerintahan kerajaan saja ia semakin tergantung pada uang pengganti dari Belanda di samping dari hasil pajak penghasilan dari daerah yang masih dikuasainya.
Untuk menambah penghasilan, banyak dilakukan penarikan cukai sebagai sumber penghasilan tertentu yang diborongkan kepada orang Cina.
Pemborongan itu misalnya terjadi pada cukai jalan, jembatan dan sarang burung.
Akibat dari sistem pemborongan ini beban rakyat makin berat. Pemborong banyak melakukan penyalahgunaan kekuasaan, sehingga pemungutan pajak sering dilakukan secara sewenang-wenang.
Jembatan-jembatan, pasar dan sebagainya terdapat gerbang cukai. Orang-orang yang melalui gerbang itu harus membayar cukai. Hal ini sangat menyusahkan lalu lintas, meninggikan harga barang dan menyusahkan kehidupan rakyat. Juga gerbang-gerbang ini disewakan kepada orang Cina dengan akibat-akibatnya yang tak menyenangkan.
Pemerintah Belanda tidak mau menghapuskan gerbang-gerbang itu, lantaran gerbang-gerbang mendatangkan penghasilan yang bukan sedikit bagi pemerintah.
Pada tahun 1823 Gubernur Jenderal Van Der Capellen memerintahkan agar tanah-tanah yang disewa dari kaum bangsawan dikembalikan lagi kepada yang punya, dengan perjanjian, bahwa uang sewa dan biaya lainnya harus dibayar kembali kepada si penyewa.
Dengan demikian beban para bangsawan juga sangat berat karena uang sewa itu sudah dibelanjakan.
Perpecahan di kalangan keluarga kerajaan di Mataram tidak saja melemahkan kerajaan, tetapi juga menyebabkan pengaruh Belanda makin menjadi kuat.
Setiap pertentangan antar keluarga bangsawan di keraton akan mengundang campur tangan pihak Belanda, yang pada akhirnya merugikan kerajaan itu sendiri sebagai keseluruhan.
Pada masa Daendels terdapat usaha mencampuri urusan tata cara di istana. Misalnya, Daendels menghendaki persamaan derajat dengan Sultan pada waktu upacara kunjungan resmi diadakan di kraton. Dalam upacara tersebut pembesar Belanda supaya diijinkan duduk sejajar dengan raja, dan sajian sirih supaya dihapuskan.
Raffles juga meneruskan usaha yang sama terhadap kehidupan keraton.
Kondisi seperti itu menimbulkan rasa kekecewaan dan ketidaksenangan di antara beberapa golongan bangsawan. Mereka menganggap bahwa martabat kerajaan menjadi merosot akibat tindakan Belanda tersebut.
Tambahan lagi setelah kebiasaan minum-minuman keras beredar di kalangan kaum bangsawan atau rakyat umum, kekhawatiran dan kekecewaan di kalangan golongan agama di istana makin meningkat.
Kekecewaan di kalangan keraton dan semakin beratnya beban rakyat menyebabkan sebagian besar rakyat merasa tertekan hidupnya. Ibarat api dalam sekam, kebencian rakyat sewaktu-waktu dapat meledak, bila sumbu letupnya sudah terbakar. Suasana pada umumnya gelisah dan jika ada seseorang saja yang dapat menyusun tenaga rakyat, niscaya akan meletus api pemberontakan yang besar.
Pada saat segenting itu muncullah seorang pemimpin besar, yang dapat membimbing rakyat, yaitu Pangeran Diponegoro. Ia adalah putra sulung Sultan Hamengku Buwono (HB) III dari Garwa Ampeyan. Dilahirkan pada tanggal 11 November 1785 dengan nama kecil Raden Mas Ontowiryo. Sejak kecil beliau dididik oleh neneknya, Kanjeng Ratu Ageng di Tegalrejo, terkenal sebagai orang yang amat saleh. Buah usahanya ternyata sekali pada diri Diponegoro. Beliau selalu berusaha memperdalam soal agama.
Untuk memperkuat imannya, beliau sering mengasingkan diri di tempat-tempat yang jauh, bertapa dan mengembara, sehingga dengan sendirinya banyak orang tertarik oleh kepribadiannya.
Sebagai orang yang sangat saleh, beliau tidak mementingkan keduniawian, dan selalu mengingat kepentingan umum. Terdesak oleh keadaan maka beliau bertindak untuk mempertahankan kedudukan para bangsawan dan membela nasib rakyat kecil.
Sewaktu Inggris masih berkuasa, Sultan Hamengku Buwono III dan Raffles pernah menjanjikan kepada Pangeran Diponegoro akan naik tahta sebagai pengganti ayahnya. Namun setelah Sultan Hamengku Buwono III wafat tahun 1814, yang menggantikan bukan Diponegoro
tetapi adiknya yakni Mas Jarot dengan gelar Sultan Hamengku Buwono IV (HB IV), sedang Pangeran Diponegoro diangkat sebagai penasehatnya.
Pengaruh Pangeran Diponegoro terhadap Sultan HB IV besar sekali. Atas desakan Pangeran Diponegoro, Sultan HB IV pernah mencabut keputusannya yang telah disampaikannya kepada residen Belanda. Karena kehidupan HB IV yang kebarat-baratan, maka wafatnya yang tiba-tiba tahun 1822, dianggap oleh Diponegoro sebagai kutukan.
Sepeninggal HB IV, yang diangkat sebagai Sultan bukan Pangeran Diponegoro tetapi Raden Mas Menol dengan gelar Sultan HB V. Karena raja tersebut baru berusia tiga tahun, maka pemerintah Belanda mengangkat beberapa orang wali yaitu Pangeran Diponegoro, Pangeran Mangkubumi, Ibu dan Nenek Sultan.
Dengan kedudukannya itu, pengaruh Pangeran Diponegoro semakin bertambah besar. Melihat pengaruh Diponegoro yang sebesar itu, baik di kalangan istana maupun di segala lapisan masyarakat, sebetulnya pemerintah Belanda menyesal memilih beliau sebagai wali Sultan. Dari sebab itu diaturnya supaya wali-wali tersebut jangan sampai ikut campur dalam pemerintahan.
Melihat kondisi Kesultanan dinilai mengancam kekuasaan Belanda, maka Belanda menetapkan bahwa pemerintahan diserahkan kepada Patih Danurejo dan di bawah pengawasan residen.
Pangeran Diponegoro yang menyadari maksud dan tujuan siasat Belanda itu menganggap bahwa kedudukannya sebagai wali Sultan bertentangan dengan aturan-aturan agama sehingga ia menolak pengangkatan tersebut.
Lebih-lebih karena Pangeran Diponegoro melihat sendiri tindakan-tindakan pegawai pemerintah Belanda yang benar-benar menyakitkan hati, misalnya:
- Residen Nahuys memasukkan adat-istiadat dan pakaian Eropa di kraton.
- Makin banyak tanah disewakan kepada orang-orang Eropa, bahkan Nahuys sendiri membuka kebun yang luas.
- Tindakan-tindakan pegawai pemerintah Belanda yang bersikap mengejek terhadap Pangeran Diponegoro.
Kebijaksanaan lain yang dianggap melecehkan Diponegoro adalah perbuatan residen dan patih yang selalu mengambil keputusan-keputusan dengan tidak dirundingkan terlebih dahulu dengan Diponegoro dan Pangeran Mangkubumi.
Misalnya, mengangkat seorang penghulu itu adalah hak Sultan. Tetapi waktu penghulu Rachmanudin berhenti lantaran berbeda pendapat dengan patih, maka residen dan patih mengangkat penggantinya tidak dengan persetujuan para wali.
Pangeran Diponegoro menganggap pengangkatan itu tidak sah. Sekali peristiwa Pangeran Diponegoro diperlakukan tidak pantas oleh dua orang pegawai Belanda, dalam pesta di rumah patih. Beliau terus meninggalkan perayaan tersebut, lalu mengasingkan diri di Tegalrejo.
Pada waktu residen dan patih menyuruh menyambung jalan dari kota ke Tegalrejo (Jalan Notoyudan) yang akan melalui tempat yang dianggap keramat oleh Diponegoro, maka Diponegoro menentangnya.
Sebagaimana dikemukakan oleh Poesponegoro et al. (2010 :229), bahwa : “Pada suatu hari, Smissaert dan Danurejo memerintahkan memasang anjir (pancung) sebagai tanda akan dibuatnya jalan baru, yang sengaja melintasi tanah milik Diponegoro di Tegalrejo”
Di samping akan melalui tempat yang keramat dan tidak dirundingkan lebih dahulu, Pangeran Diponegoro menilai bahwa jalan tersebut akan digunakan untuk memperlancar serangan Belanda ke Tegalrejo. Peristiwa tersebut menyebabkan Pangeran Diponegoro tidak dapat menahan kesabarannya lagi. Beliau meminta agar patih dipecat, tetapi ditolak oleh residen.
Karena itu Pangeran Diponegoro menyuruh mengganti tonggak-tonggak pemancang jalan yang akan dibuat dicabut diganti dengan bambu runcing.
Sebagaimana dikemukakan oleh Poesponegoro et al. (2010 :229), bahwa : “Diponegoro memerintahkan anak buahnya untuk mencabuti pancung-pancung tersebut”.
Pemerintah Belanda mengutus Pangeran Mangkubumi ke Tegalrejo untuk memanggil Diponegoro mempertanyakan tindakan-tindakan Diponegoro itu. Beliau tahu bahwa beliau akan ditangkap jika beliau mengabulkan panggilan itu. Pangeran Mangkubumi sendiri akhirnya tidak mau pulang ke kota. Akibatnya pasukan Belanda menyerbu ke Tegalrejo sehingga akhirnya pada tanggal 25 Juli 1825 berkobarlah perlawanan Diponegoro. Dalam pertempuran tersebut, Pangeran Diponegoro bersama keluarganya berhasil melepaskan diri dari serbuan Belanda itu.
Setelah pertempuran di Tegalrejo ini, Diponegoro dengan pasukannya menyingkir ke Gua Selarong, sekitar 15 km sebelah barat daya kota Yogyakarta, guna mengatur siasat perang selanjutnya.
Keluarga Pangeran Diponegoro diungsikan ke Dekso (Kulon Progo) . Kabar mengenai meletusnya perlawanan Diponegoro terhadap Belanda meluas ke berbagai daerah. Rakyat petani yang telah lama menderita dalam kehidupannya, banyak yang segera datang untuk ikut serta dalam perlawanan. Demikian pula para ulama dan bangsawan yang kecewa terhadap Belanda bergabung dengan Diponegoro. Daerah-daerah lain juga menyambut perlawanan Diponegoro dengan melakukan perlawanan terhadap Belanda.
Kyai Mojo, seorang ulama dari daerah Surakarta, datang untuk bergabung dengan Diponegoro. Bersama dengan Kyai ini dibentuklah kelompok pasukan.
Semboyan Perang Sabil dikumandangkan ke segenap pengikutnya, baik yang ada di daerah Selarong maupun yang
ada di daerah lain. Malahan seorang Kyai yang bernama Hasan Besari diutus Diponegoro untuk menyebarkan Perang Sabil di daerah Kedu.
Di samping para tokoh ulama, Diponegoro juga mendapat dukungan para Bupati Monconegoro. Di antaranya yang terkenal adalah Alibasya Sentot Prawirodirjo dari Madiun yang kemudian menjadi Panglima Perang Diponegoro.
Itulah sebabnya pada tahun-tahun pertama pertempuran dengan cepat meluas sampai ke daerah Pacitan, Purwodadi, Banyumas, Pekalongan, Semarang, Rembang, Kertosono dan Madiun.
Sementara itu tokoh-tokoh yang memihak Belanda untuk menentang perlawanan Diponegoro antara lain Patih Danurejo, Sunan Surakarta, raja-raja dari Madura.
Dalam pertempuran di Kertosono, rakyat dipimpin langsung oleh Bupati Kertosono, pertempuran di Banyumas, rakyat dipimpin oleh Pangeran Suriatmojo, perlawanan di Madiun dipimpin oleh Bupati Kertodirjo dan Pangeran Serang, sedang perlawanan di Plered dipimpin oleh Kertopengalasan.
Dalam pertempuran di daerah Lengkong (1826), Belanda dipukul mundur, seorang letnan Belanda tewas dan dua orang bangsawan gugur.
Dalam pertempuran-pertempuran dari tahun 1825 sampai 1826 kemenangan ada di pihak Diponegoro.
Hal ini disebabkan :
- Semangat perang pasukan Diponegoro masih tinggi,
- Siasat gerilya yang dilakukan Diponegoro belum tertandingi,
- Sebagian pasukan Belanda masih berada di Sumatera Barat dalam rangka Perang Padri.
Karena itu tawaran Belanda untuk melakukan perdamaian selalu ditolak oleh Diponegoro. Melihat semakin kuatnya Diponegoro dan semakin meluasnya medan pertempuran, maka Belanda menilai bahwa perlawanan Diponegoro sangat membahayakan kedudukan Belanda di Indonesia.
Itulah sebabnya Belanda lalu menggelar berbagai siasat untuk menumpas atau menghentikan perlawanan Diponegoro itu.
Dalam rangka untuk menghadapi perlawanan Diponegoro itu, Belanda melakukan siasat-siasat sebagai berkut:
- Sultan HB II (Sultan Sepuh) yang dibuang Raffles ke Pulau Penang, dikembalikan ke Yogyakarta dengan tujuan mendatangkan perdamaian sehingga para bangsawan yang memihak Diponegoro diharapkan kembali ke kraton. Usaha tersebut gagal karena Sultan Sepuh kurang berwibawa lagi bahkan tidak lama kemudian wafat sehingga para bangsawan tetap melakukan perlawanan.
- Jenderal de Kock berusaha memecah belah pengikut Diponegoro. Para bangsawan dibujuknya supaya pulang ke ibu kota. Mereka tidak akan dituntut. Juga kedudukan, uang dan sebagainya kerap kali dipergunakan sebagai pemikat hati. Usaha de Kock ini rupanya berhasil juga, sebab Kyai Mojo, Pangeran Kusumonegoro, Sentot dan lain-lain meninggalkan Diponegoro, sehingga akhirnya beliau tinggal seorang diri. Kyai Mojo diasingkan ke Minahasa, sedang Sentot dikirim ke Sumatera untuk memerangi kaum Padri, namun akhirnya ditangkap lagi dan dibuang ke Bangkahulu.
- Untuk mempersempit ruang-gerak Diponegoro, Jenderal de Kock menggunakan taktik Benteng Stelsel (perbentengan), yaitu mendirikan benteng-genteng di tiap daerah yang direbut dan kemudian dijaga oleh pasukan prajurit, dan benteng itu saling berhubungan. Penduduk daerah itu tetap tenang dan tidak ikut bertempur. Benteng-benteng tersebut dibangun di Gombong, Purworejo, Magelang, Ambarawa dan Salatiga.
- Sesudah Diponegoro semakin terjepit, Belanda melakukan pendekatan agar Diponegoro mau diajak untuk melakukan perundingan perdamaian. Perundingan semacam itu pernah di Klaten tahun 1827, tetapi gagal.
Karena bala bantuan Belanda terus berdatangan, maka posisi tentara Pangeran Diponegoro semakin terjepit sehingga sering terjadi pertempuran terbuka.
Akibatnya pengikut-pengikut setianya semakin kecil sebab Pangeran Suryomataram dan Prangwadono tertangkap, sedangkan Pangeran Serang dan Pangeran Notoprojo menyerah. Pangeran Ario Papak dan Sosrodilogo (Rembang) juga menyerah.
Pada tahun 1829 Pangeran Mangkubumi dan Alibasya Sentot Prawirodirjo mengambil keputusan menyerahkan diri sebelum dikalahkan Sebagaimana dikemukakan oleh (Poesponegoro et al. 2010 :247), bahwa : “Akibat tekanan dan kejaran terus menerus yang dilakukan oleh pasukan de Kock, akhirnya Sentot menyerah pada bulan Oktober 1829”. Sampai tahun 1829 tersebut kira-kira 200 ribu pasukan Diponegoro telah gugur.
Oleh karena kondisinya yang semakin terdesak dan melihat kedudukannya yang sudah tidak ada harapan lagi, maka Diponegoro bersedia untuk melakukan perundingan.
Melalui Kolonel Kleerens, pada tanggal 16 Pebruari 1830 Diponegoro mau melakukan pertemuan di desa Romo Kamal. Dalam pertemuan itu dibuat syarat-syarat perundingan sebagai berikut:
- Bila mana dasar perundingan tidak dapat disetujui oleh Diponegoro, beliau boleh kembali secara bebas.
- Dalam perundingan itu Diponegoro harus jauh dari tentaranya,sedang tentaranya tidak boleh membawa senjata. Rencana perundingan perdamaian itu dilakukan di kota Magelang.
Karena pada saat itu kebetulan bulan Puasa, maka perundingan itu ditunda. Pada SAAT itu bertambah pengikut Diponegoro yang masuk kota Magelang. Sehabis Puasa Jenderal de Kock mengajak melakukan perundingan.
Namun Diponegoro belum bersedia karena masih dalam suasana Lebaran.
Setelah berunding, Jenderal de Kock mendesak Diponegoro mengemukakan tuntutan-tuntutannya. Pada saat itu Diponegoro menghendaki menjadi kepala agama Islam (Panatagama) di Jawa agar supaya dapat memelihara kerohanian rakyat. Tuntutan itu ditolak oleh pemerintah Belanda.
De Kock takut kalau-kalau Diponegoro akan menyerang lantaran pengikutnya kian hari kian banyak yang masuk kota Magelang. Sementara pemerintah Negeri Belanda mendesak de Kock agar segera menghentikan perlawanan dengan cara apapun agar melapangkan jalan bagi pelaksanaan Culturstelsel.
Di samping itu, de Kock juga terancam dipecat jika Diponegoro sampai lepas kembali.
Dengan berbagai alasan tersebut, Pangeran Diponegoro ditangkap di tempat perundingan tersebut. Diponegoro kemudian dibawa ke Menado dan pada tahun 1834 dipindahkan ke Makasar dan di sana beliau wafat pada tanggal 8 Januari 1855. Makam beliau hingga kini menjadi tempat ziarah bangsa Indonesia.
Perlawanan Pangeran Diponegoro membawa akibat yang cukup berat. Korban di pihak Belanda sebanyak 15.000 tentara, terdiri dari 8000 ribu orang Eropa, dan 7000 orang serdadu pribumi. Biaya yang harus dikeluarkan untuk membiayai perang itu tidak kurang dari 20 juta gulden. Di samping itu, tidak sedikit perkebunan-perkebunan swasta asing yang rusak. Kemakmuran rakyat lenyap sama sekali.
Akibat perlawanan Diponegoro, maka batas-batas Surakarta dan Yogyakarta diubah, daerahnya diperkecil. Berhubungan dengan tindakan ini, maka Sunan Paku Buwono VI merasa kecewa sekali, lalu meninggalkan ibu kota. Pemerintah Belanda menaruh curiga, lalu Sunan ditangkap dan dibuang ke Ambon (1849) .
Dengan demikian maka berakhirlah perlawanan penghabisan dari raja-raja Jawa.
[......]
No comments:
Post a Comment