![]() |
Kapak Genggam |
Berburu dan meramu atau
mengumpulkan bahan-bahan makanan masih terus berlanjut.
Akan tetapi, mereka
sudah mulai bertempat tinggal secara tidak menetap di goa-goa.
Mereka akan
berpindah ke tempat lain jika persediaan makanan dan binatang buruan di sekitar
goa itu sudah tidak mencukupi lagi atau jika terjadi bencana alam, misalnya
dinding goa runtuh akibat gempa bumi.
Sementara itu, juga terdapat sekelompok manusia
yang hidup di goa-goa di tepi pantai dan kehidupannya bergantung pada
bahan-bahan makanan yang tersedia di laut. Untuk memperoleh bahan-bahan
makanan mereka menggunakan alat-alat yang terbuat dari batu, tulang, tanduk,
dan lain-lain.
- Alat-alat dari tulang dan tanduk, misalnya digunakan untuk mengorek umbi-umbian dan melepas kulitnya.
- Alat dari batu seperti kapak genggam digunakan untuk mencukil tanah, memecah kulit kerang, memotong daging atau untuk menguliti binatang. Manusia pada masa ini sudah melakukan upaya menjinakan anjing untuk berburu. Hal itu terlihat dari temuan gigi anjing di goa Cakondo Sulawesi Selatan.
![]() |
Kapak Perimbas dan Alat Serpih |
Alat-alat yang dipakai pada
waktu itu adalah:
- Kapak Perimbas,
- Alat serpih dan
- Alat-alat tulang.
Dengan
alat-alat tulang ini mereka mempertahankan hidupnya.
Dari temuan yang didapat,
ternyata mereka mengumpulkan mayat di dalam gua.
Mereka mengenal pula
batu-batuan yang dapat dicairkan untuk dipergunakan sebagai cat. Pada beberapa
gua yang diteliti ditemukan gambar- gambar pada dinding gua dan cat merah.
Gambar-gambar itu adalah gambar jari-jari tangan atau binatang-binatang buruan.
Gambar itu bukan semata-mata gambaran kesenian, melainkan binatang yang
digambarkan itu berhubungan dengan ilmu sihir untuk melumpuhkannya.
Perubahan cara hidup dari
mengembara menjadi cara hidup menetap sementara di goa-goa membawa pengaruh ke
aspek-aspek kehidupan lainnya.
Dari hasil- hasil temuan di beberapa tempat di
Jawa dan di Sumatera, ditemukan alat-alat yang bervariasi dan juga ditemukan
kerangka manusia yang telah menunjukkan cara-cara penguburan.
Dari
temuan-temuan alat-alat itu diketahui bahwa mereka telah mampu mengembangkan
teknologi yang lebih maju.
Adanya kerangka manusia yang telah dikuburkan
menunjukkan bahwa mereka telah mempunyai suatu kepercayaan terhadap adanya
arwah. Begitu juga hasil- hasil temuan lukisan yang dipahatkan di dinding
goa-goa di Sulawesi Selatan, Maluku, dan Irian Jaya. Hal itu telah mengenal
simbol dan makna tertentu. Misalnya, warna merah yang banyak dijumpai dalam
lukisan itu menggambarkan warna darah yang dapat memberikan kekuatan.
Penelitian pada alat-alat masa
berburu dan mengumpulkan makanan mula-mula dilakukan oleh Von Koenigswald di
Punung (kabupaten Pacitan, Jawa Timur).
Alat-alat itu berupa kapak perimbas,
yaitu kapak batu yang tidak bertangkai dan menggunakannya dengan menggenggam
dalam tangan.
Karena alat-alat semacam ini banyak ditemukan di Pacitan, maka
disebut budaya Pacitan. Oleh Von Koenigswald alat-alat batu semacam itu
digolongkan seagai alata-alat palaeolithik.
Daerah Punung adalah tempat yang
terkaya akan kapak-kapak perimbas dan hingga sekarang merupakan tempat penemuan
yang terpenting di Indonesia.
Di samping alat-alat dari batu
juga ditemukan alat-alat dari tulang yang dipergunakan sebagai alat penusuk,
pisau atau belati. Kecuali itu tulang-tulang yang diruncingkan juga dapat
digunakan sebagai mata tombak untuk berburu binatang buruan dengan cara
melemparnya kepada binatang buruan tersebut.
Alat tulang semacam itu banyak
ditemukan di Ngandong (Kabupaten Madiun).
Kecuali alat-alat dari tulang juga
ditemukan alat-alat dari tulang menjangan yang memperlihatkan bagian yang
diruncingkan. Alat dari duri ikan pari yang juga ditemukan, mungkin sebagai
mata tombak.
![]() |
Bambar Mata Panah |
Mata panah merupakan alat yang
digunakan pada masa berburu untuk menangkap ikan. Ada dua tempat penemuan yang
penting yaitu Jawa Timur dan Sulawesi Selatan. Tempat-tempat penemuan mata
panah di Jawa Timur terutama di gua-gua yaitu Sampung (Gua Lawa), daerah Tuban
(Gua Gede dan Kandang) dan gua-gua kecil di bukit-bukit dekat Tuban, di Besuki,
Bojonegoro (gua Kramat dan Lawang),
Punung dan lain-lain. Selain untuk berburu, mata panah juga digunakan untuk
menangkap ikan. Bahan untuk membuat mata panah ada yang dari batu gamping di
bagian ujungnya diasah. Mata panah untuk menangkap ikan umumnya terbuat dari
tulang dan bergerigi seperti gergaji. Mata panah yang ditemukan kebanyakan
secara kebetulan terdapat di dalam gua-gua tempat tinggal untuk sementara atau
menetap.
Alat-alat ini berkembang sangat terbatas di beberapa tempat saja seperti di Jambi, dekat danau Kerinci, di sekitar bekas danau Bandung, di sekitar danau Bangkuang dekat Garut, di Leuwiliang (Bogor) dan sedikit sekali di Flores Barat.
Von Heine Geldern menduga bahwa alat- alat obsidium berasal dari masa berburu dan mengumpulkan makanan.
Pendapat para ahli yang lain seperti van Stein Callenfels, von Koenigswal dan van der Hoop mengaggap alat-alat dari Bandung itu sebagai alat “mikrolit” (batu kecil) dan menduga asalnya dari masa bercocok tanam, karena alat-alat tersebut ditemukan bersama-sama dengan pecahan gerabah, fragmen-fragmen beliung persegi.
No comments:
Post a Comment